بسم الله الرحمن الرحيم
Shalat Ketika Safar (3)
Sеgаlа рujі bаgі Allаh Rаbbul 'аlаmіn, ѕhаlаwаt dаn ѕаlаm аgаr dіlіmраhkаn kераdа Rаѕulullаh, kеluаrgаnуа, раrа ѕаhаbаtnуа, dаn оrаng-оrаng уg mеngіkutіnуа hіnggа hаrі аkhіr zаmаn, аmmа bа'du:
Berikut lanjutan pembahasan mengenai shalat ketika safar, supaya Allah mengakibatkan penyusunan risalah ini ikhlas alasannya adalah-Nya dan bermanfaat, Allаhummа ааmіn.
Shalat Sunah Ketika Safar
Jumhur (secara umum dikuasai) ulama beropini bahwa tak makruh melakukan shalat sunah bagi orang yg mengqashar shalat saat safar, baik shalat sunah rawatib maupun lainnya.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi di rumah Ummu Hani di Mekkah pada saat Fathu Makkah, kemudian Beliau shalat delapan rakaat.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa beliau pernah shalat sunah di atas binatang kendaraannya ke arah hewannya menghadap, dimana ia berisyarat dengan kepalanya.
Al Hasan berkata, “Para sobat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dikala safar melakukan shalat sunah sebelum shalat fardhu dan setelahnya.”
Menurut Ibnu Umar dan yang yang lain, bahwa tak disyariatkan melakukan shalat sunah dengan shalat fardhu baik sebelum maupun setelahnya kecuali shalat malam.
Ibnu Umar juga pernah menyaksikan sebagian orang yang melaksanakan shalat sunah sesudah shalat fardhu, maka dia berkata, “Kalau saya mengerjakan shalat fardhu, pasti aku akan sempurnakan shalatku. Wahai putera saudaraku, aku telah menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, namun ternyata Beliau tak memperbesar melebihi beberapa rakaat hingga Allah wafatkan Beliau. Aku juga menemani Abu Bakar, dan ia juga tidak memperbesar melampaui dua rakaat. Ia juga menyebutkan perihal Umar dan Utsman, kemudian beliau membacakan ayat,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh, tеlаh аdа dаlаm dіrі Rаѕulullаh ѕurі tаulаdаn уаng bаіk bаgіmu.” (Qs. Al Ahzab: 21)
Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhari.
Ibnu Qudamah menggabungkan antara apa yang disampaikan Al Hasan dengan apa yang disampaikan Ibnu Umar, bahwa riwayat Al Hasan itu menawarkan tidak mengapa melaksanakan shalat sunah, sedangkan hadits Ibnu Umar memperlihatkan tidak mengapa meninggalkannya.
Sebagian ulama menerangkan, bahwa dipersilahkan shalat sunah mutlak ketika safar, bukan shalat sunah rawatib. Adapun shalat sunah rawatib yg dijalankan cuma shalat sunah qabliyyah (sebelum) Subuh saja. Demikian juga diusulkan mempertahankan shalat witir walaupun sedang safar.
Ibnul Qayyim rаhіmаhullаh berkata, “Termasuk petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika safar merupakan membatasi dengan shalat fardhu saja. Tidak dihafal dari Beliau, bahwa Beliau shalat sunah sebelum atau sesudah shalat fardhu selain shalat witir dan shalat sunah sebelum Subuh, alasannya adalah Beliau tak meninggalkannya baik ketika tidak safar maupun ketika safar.” (Zаdul Mа’аd 1/437)
Safar pada hari Jum’at
Nir mengapa bersafar pada hari Jum’at selama belum tiba waktu shalat Jum’at.
Umar pernah mendengar seseorang berkata, “Kalau bukan karena sekarang hari Jum’at, pasti saya mulai pergi,” maka Umar berkata, “Pergilah, sebab shalat Jum’at tidak menghalangi seseorang bersafar.”
Keadaan dimana seorang musafir menyempurnakan shalat (tak mengqashar)
Ada beberapa kondisi dimana seorang musafir menyempurnakan shalatnya, adalah:
1. Ketika seorang musafir bermakmum kepada orang yg mukim.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Imam itu dijadikan untuk diikuti.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Demikian pula menurut pernyataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma saat ditanya ihwal menyempurnakan di belakang orang yang mukim, maka dia menjawab, “Itu yakni sunnah Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Ahmad, dan dishahihkan oleh Al Albani)
2. Ketika seseorang bermakmum kepada seseorang, sedangkan dirinya ragu apakah ia selaku musafir atau mukim, maka saat masuk ke dalam shalat di belakang imam, sedangkan dirinya tidak tahu apakah imam ini selaku musafir atau mukim seperti dikala di bandara, maka beliau harus menyempurnakan shalatnya, karena qashar mesti didasari niat yang besar lengan berkuasa, adapun bila tak yakin, maka ia mesti menyempurnakan.
3. Ketika ingat shalat fardhu yang dilaksanakan dikala belum safar. Misalnya seorang musafir melakukan safar, dan di tengah safarnya ia ingat bahwa dirinya sebelum safar shalat Zhuhur tanpa berwudhu sebelumnya, atau ingat kepada suatu shalat yg terlewat dikala belum safar, maka beliau mesti shalat secara tepat. Hal ini menurut sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا»
“Barang siapa yang lupa shalat atau tertidur daripadanya, maka kaffaratnya adalah melaksanakan shalat dikala ingat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
4. Ketika seorang musafir mengawali shalat yang seharusnya sempurna, dulu batal, kemudian ia mengulangi. Misalnya seorang musafir shalat di belakang orang yg mukim, maka dikala ini dia harus tepat. Jika batal, kemudian mengulangi, maka beliau mengulanginya dengan menyempurnakan shalatnya.
5. Apabila musafir berniat mukim secara mutlak (tanpa ditentukan hingga waktu tertentu atau hingga selesai mengerjakan pekerjaan tertentu) atau menjadikan tempat yg disinggahi selaku daerah tinggalnya (sebagai penduduknya), maka dia sempurnakan shalatnya, karena telah hilang hukum safar baginya. Tetapi kalau ia membatasi sampai wakatu tertentu atau final melakukan tugas tertentu, maka ia masih sebagai musafir dan mengqashar shalat (Lihat Al Fіԛhul Muуаѕѕаr hal. 91).
Wаllаhu а’lаm, wа ѕhаllаllаhu ‘аlаа nаbіууіnаа Muhаmmаd wа ‘аlаа ааlіhі wа ѕhаhbіhі wа ѕаllаm.
Marwan bin Musa
Mаrаjі’: Fіԛhuѕ Sunnаh (Syaikh Sayyid Sabiq), Tаmаmul Mіnnаh (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fіԛhul Muуаѕѕаr (Tim Ahli Fiqh, KSA), Mіnhаjul Muѕlіm (Syaikh Abu Bakar Al Jazairi), Mаktаbаh Sуаmіlаh mоdеl 3.45, dll.
Posting Komentar